Jumat, 25 Maret 2016

Pengantar Kesehatan Mental

Orientasi Kesehatan Mental
Banyak pendapat mengenai kesehatan mental bagi kalangan masyarakat luas yaitu bagaiman mereka memahami apa sebenarnya kesehatan mental itu. Dalam mendefinisikan kesehatan mental, sangat dipengaruhi oleh kultur dimana seseorang tersebut tinggal. Apa yang boleh dilakukan dalam suatu budaya tertentu, bisa saja menjadi hal yang aneh dan tidak normal dalam budaya lain, dan demikian pula sebaliknya (Sias, 2006). Menurut Pieper dan Uden (2006), kesehatan mental adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mengalami perasaan bersalah terhadap dirinya sendiri, memiliki estimasi yang relistis terhadap dirinya sendiri dan dapat menerima kekurangan atau kelemahannya, kemampuan menghadapi masalah – masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam hidup sosialnya, serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya.
Notosoedirjo dan Latipun (2005), mengatakan bahwa terdapat banyak cara mendefinisikan kesehatan mental (mental hygene) yaitu :
  • Sehat mental karena tidak mengalami gangguan mental
Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang tahan terhadap sakit jiwa atau terbebas dari sakit dan gangguan jiwa. Vaillaint (dalam Notosoedirjo & Latipun, 2005), mengatakan bahwa kesehatan mental atau psikologis itu “as the presence of successfull adjustmet or the absence of psychopatology” dan yang dikemukakan oleh Kazdin yang menyatakan kesehatan mental ”as a state in which there is an absence of dysfunction in psychological, emotional, behavioral, and sosial spheres”. Pengertian ini bersifat dikotomis, bahwa orang berada dalam keadaan sakit atau sehat psikisnya. Sehat jika tidak terdapat sedikitpun gangguan psikisnya, dan jika ada gangguan psikis maka diklasifikasikan sebagai orang sakit. Dengan kata lain sehat dan sakit itu mental itu bersifat nominal ytang dapat dibedakan kelompok-kelompoknya. Sehat dengan pengertian ”terbebas dari gangguan”, berarti jika ada gangguan sekialipun sedikit adanya, seseorang itu diangganb tidak sehat.
  • Sehat mental jika tidak sakit akibat adanya stressor
Notosoedirjo dan Latipun (2005), mengatakan bahwa orang yang sehat mentalnya adalah orang yang dapat menahan diri untuk tidak jatuh sakit akibat stressor (sumber stres).
  • Sehat mental jika sejalan dengan kapasitasnya dan selaras dengan lingkungannya Michael dan Kirk Patrick (dalam Notosudirjo & Latipun, 2005) memandang bahwa individu yang sehat mentalnya jika terbebas dari gejala psikiatris dan individu itu berfungsi secara optimal dalam lingkungan sosialnya.
  • Sehat mental karena tumbuh dan berkembang secara positif
Frank, L. K. (dalam Notosudirjo & Latipun, 2005) merumuskan pengertian kesehatan mental secara lebih komprehensif dan melihat kesehatan mental secara ”positif”. Dia mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah orang yang terus menerus tumbuh, berkembang dan matang dalam hidupnya, menerima tanggung jawab, menemukan penyesuaian (tanpa membayar terlalu tinggi biayanya sendiri atau oleh masyarakat) dalam berpartisipasi dalam memelihara aturan sosial dan tindakan dalam budayanya.

Dari berbagai pengertian yang ada, Johada (dalam Notosoedirjo dan Latipun, 2005), merangkum pengertian kesehatan mental dengan mengemukakan tiga ciri pokok mental yang sehat:
  • Seseorang melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan atau melakukan usaha untuk menguasai, dan mengontrol lingkungannya, sehingga tidak pasif menerima begitu saja kondisi sosialnya.
  • Seseorang menunjukkan kutuhan kepribadiaanya – mempertahankan integrasi kepribadian yang stabil yang diperoleh sebagai akibat dari pengaturan yang aktif.
  • Seseorang mempersepsikan “dunia” dan dirinya dengan benar, independent dalam hal kebutuhan pribadi.

Federasi Kesehatan Mental Dunia (World Federation for Mental Health) merumuskan pengertian kesehatan mental sebagai berikut.
  • Kesehatan mental sebagai kondisi yang memungkinkan adanya perkembangan yang optimal baik secara fisik, intelektual dan emosional, sepanjang hal itu sesuai dengan keadaan orang lain.
  • Sebuah masyarakat yang baik adalah masyarakat yang membolehkan perkembangan ini pada anggota masyarakatnya selain pada saat yang sama menjamin dirinya berkembang dan toleran terhadap masyarakat yang lain.

Dalam konteks Federasi Kesehatan Mental Dunia ini jelas bahwa kesehatan mental itu tidak cukup dalam pandangan individual belaka tetapi sekaligus mendapatkan dukungan dari masyarakatnya untuk berekembang secara optimal. Dengan demikian, pengertian kesehatan mental beragam. Namun, demikian merumuskan pengertian kesehatan mental secara komprehensif adalah bukan suatu hal yang mudah dilakukan. Untuk membantu memahami makna kesehatan mental, terdapat prinsip-prinsip yang dapat dijadikan sebagai pegangan bagi kita. Prinsip-prinsip pengertian kesehatan mental adalah sebagai berikut:

  1. Kesehatan mental adalah lebih dari tiadanya perilaku abnormal.
Prinsip ini menegaskan bahwa yang dikatakan sehat mentalnya tidak cukup kalau dikatakan sebagai orang yang tidak megalami abnormalitas atau orang yang normal. Karena pendekatan statistik memberikan kelemahan pemahaman normalitas itu. Konsep kesehatan mental lebih bermakna positif daripada makna keadaan umum atau normalitas sebagaimana konsep statistik.
  1. Kesehatan mental adalah konsep yang ideal.
Prinsip ini menegaskan bahwa kesehatan mental menjadi tujuan yang amat tinggi bagi seseorang. Apalagi disadari bahwa kesehatan mental itu bersifat kontinum. Jadi sedapat mungkin orang mendapatkan kondisi sehat yang paling optimal dan berusaha terus untuk mencapai kondisi sehat yang setingi-tingginya.
  1. Kesehatan mental sebagai bagian dan karakteristik kualitas hidup.
Prinsip ini menegaskan bahwa kualitas hidup seseorang salah satunya ditunjukkan oleh kesehatan mentalnya. Tidak mungkin membiarkan kesehatan mental seseorang untuk mencapai kualitas hidupnya, atau sebaliknya kualitas hidup seseorang dapat dikatakan meningkat jika juga terjadi peningkatan kesehatan mentalnya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental adalah Suatu kondisi dimana kepribadian, emosional, intelektual dan fisik seseorang tersebut dapat berfungsi secara optimal, dapat beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan danstressor, menjalankan kapasitasnya selaras dengan lingkungannya, menguasai lingkungan, merasa nyaman dengan diri sendiri, menemukan penyesuaian diri yang baik terhadap tuntutan sosial dalam budayanya, terus menerus bertumbuh, berkembang dan matang dalam hidupnya, dapat menerima kekurangan atau kelemahannya, kemampuan menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya, serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya.

  1. Konsep Sehat
WHO mendefinisikan sehat sebagai sebuah kondisi yang lengkap yaitu sejahtera (well-being) dari segi fisik, mental dan sosial dan tidak hanya terbebas dari gejala atau penyakit. Dadang Hawari, 1984, WHO menambahkan aspek spititual sbg kriteria sehat, sehingga sehat berarti meliputi kondisi sejahtera pada (1) aspek Fisik/ jasmani/biologis (2) aspek kejiwaan/psikologis/ (3) aspek sosial (4) aspek spiritual (rohani/agama). Batasan tersebut meningkatkan keterikatan antara konsep “sehat” dengan “kesehatan mental”. Kesehatan mental suatu kondisi ‘sejahtera’ dimana individu dapat merealisasikan kecakapannya, dapat melakukan coping thd tekanan hidup yg normal, bekerja dengan produktif dan memiliki kontribusi dalam kehidupan di komunitasnya.
Ada beberapa dimensi yang terdapat dalam konsep sehat
  1. Emosi
Disini emosi diartikan sebagai suatu persaan yang dimiliki seseorang baik unuk dirinya pribadi juga dengan orang lain. Setiap manusia memiliki kemampuan dalam membentuk ikatan emosionalnya secara kuat dan abadi. Seperti tingkat emosionalnya melalui persahabatan dan cinta, mampu mengekspresikan ketidaksukaan/ketidaksetujuan tanpa kehilangan kontrol, kemampuan memahami dan membagi perasaan kepada orang lain, kemampuan menyenangi diri sendiri dan tertawa. Ketika seseorang tidak senang pada suatu saat, maka dia harus memiliki alasan yang tepat mengapa dia tidak senang. Jadi dalam konsep ini manusia dituntut untuk menjalani kehidupan tidak terlepas dari perann emosionalnya.
  1. Intelektual
Kemampuan intelektual dapat membedakan antara orang yang satu dengan yang lain. Setiap orang memiliki kemampuan intelektualnya masing – masing. Tetapi dalam konsep sehat seseorang yang memiliki intelektual bisa diartikan sebagai seorang yang mampu mengkondisikan dirinya terhadap dunianya dan dunia luarnya baik berkomunikasi terhadap orang, membuat keputusan, sikap menyikapi antar sesama, rendah diri, mampu mengetahui hal yang realisti, serta mampu menilai yang baik dan yang buruk.
  1. Sosial
Arti sosial bisa kita jelaskan sebagai suatu ikatan yang tidak bisa dipisahkan interaksinya antar manusia. Yang dikatakan sebagai yang sehat ia mampu melihat realitasnya secara nyata dan dapat mengendalikan keadaan sesuai kondisi sosialnya. Disini seorang yang sehat itu mampu untuk mengetahui keadaan sekitarnya dalam keberlangsungan hidup yang sosial. Bukan hanya berhubungan dengan orang lain, sosial disini juga sangat bergantung kepada aspek pribadi dirinya sendiri dalam kegiatan sosialnya.
  1. Fisik
Kesehatan fisik tidak terlepas dari keberlangsungan kehidupan manusia. Manusia yang baik fisiknya adalah ia yang mampu menguasai dirinya dalam berinteraksi dengan orang lain. Karena fisik menjadi faktor utama bagi seseorang yang dikatakan sehat untuk menjalani hidupnya. Sehingga ia mampu untuk memanfaatkan kesempurnaan fisik untuk beraktivitas.
  1. Spiritual
Steadmen, Palmer, dan Ellsworth (dalam Feierman, 2009) mendefinisikan perilaku religius adalah seperangkat perilaku yang merupakan ekspresi dari religiusitas seseorang yang tercakup didalamnya pelaksanan ritual agama, pelaksanaan ibadah, dan berdoa. Feierman (2009) mengatakan bahwa perilaku religius mencerminkan keyakinan terhadap agama yang ditampilkan atau didemonstrasikan dalam bentuk perilaku. Kehidupan manusia tidak terlepas dari spiritualnya terhadap agama. Dimana spiritual mampu menghadirkan kedamaian dalam batin dan pikiran manusia. Sehingga akibat dari tingkat religius seseorang ia mampu bertahan untuk menjalankan konsep sehat yang ia rasakan. Religius dapat dilihat dari frekuensi kehadiran dan pelaksanaan kegiatan keagaman. Misalnya setiap hari minggu ke gereja, berdoa, sembayang, dan puasa. Dapat disimpulkan bahwa perilaku religius adalah seperangkat perilaku yang merupakan ekspresi dari religiusitas dan keyakinan terhadap agama yang dapat diindikasikan dari tingkatan seberapa sering (frekuensi) seseorang mengerjakan kewajiban ajaran agamanya, frekuensi melakukan ibadah (sembayang), pelaksanaan ritual agama, berdoa, melaksanakan ibadah religius seperti ke gereja, ke mesjid, berpuasa, dan shalat lima waktu.

  1. Sejarah Perkembangan Kesehatan Mental
Anggapan lama di Cina, Mesir maupun Yunani kuno mengenai seseorang yang mengalami gangguan jiwa adalah karena dikuasai oleh roh jahat, yang dapat disembuhkan dengan doa, mantera, sihir, dan penggunaan obat – obatan alami tertentu. Jika cara pengobatan ini tidak menyembuhkan, maka langkah berikutnya adalah upaya agar roh jahat tersebut tidak kerasan hidup di dalam tubuh penderita. Cara yang dilakukan terkadang ekstrim, yaitu dengan cara mencambuk, membiarkan lapar atau melemparinya dengan batu sampai penderita meninggal dunia.
Kemajuan pemikiran dalam upaya menyembuhkan penderita gangguan jiwa adalah ketika Hippocrates, seorang dokter Yunani Kuno menolak anggapan bahwa adanya roh jahat. Ia berpendapat bahwa gangguan terjadi karena adanya kekacauan ketidakseimbangan cairan dalam tubuh penderita. Hippocrates dan beberapa pengikutinya (para dokter dari Yunani dan Romawi) mengajukan cara penyembuhan yang lebih manusiawi. Mereka lebih mementingkan lingkungan yang menyenangkan, olahraga, aturan makan yang teratur, pijat/ mandi yang menyejukkan. Disamping beberapa pengobatan yang kurang menyenangkan seperti, mengeluarkan darah penggunaan obat pencahar, dan pengekangan mekanis.
Perkembangan yang telah dimulai Hippocrates dan kawan – kawannya tersebut sayangnya tidak diikuti dengan perkembangan lebih lanjut, sehingga pada abad pertengahan kemudian berkembang lagi adalah cerita takhayul primitif dan adanya keyakinan tentang setan. Pada penderita gangguan jiwa dianggap berada dalam kelompok setan yang memiliki kekuatan gaib untuk dapat menimbulkan bencana dan kecelakaan bagi orang lain. mereka ini lalu diperlakukan secara kejam, karena ada keyakinan bahwa dengan memukul, membuatnya lapar, dan menyiksa setan yang merasuk didalamnya yang akan menderita. Kekejaman ini memuncak pada abd ke – 15, 16, 17 karena pada masa itu sedang berlangsung pengadilan ilmu sihir yang akhirnya menghukum mati ribuan penderita.
Lahirnya Rumah Sakit Jiwa
Pada akhir abad pertengahan, banyak rumah sakit didirikan untuk menanggulangi para penderita penyakit jiwa. Rumah sakit ini bukanlah merupakan pusat perawatan dan penyembuhan, melainkan merupakan semacam penjara dimana para penghuninya dirantai di dalam sel yang gelap dan kotor, serta diperlakukan secara tidak manusiawi.
Pada tahaun 1792 ada kabar menggembirakan ketika Phillipe Pinel ditempatkan pada sebuah rumah sakit jiwa di Paris. Pinel membuat semacam eksperimen dengan cara melepas rantai yang mengikat penderita. Di luar dugaan orang – orang yang skepttis, yang menganggap Pinel gila karena keberaniannyamelepas rantai tersebut. Percobaan Pinel justru menunjukkan hasil yang lebih baik. Ketika akhirnya dilepas dari kekangannya, lalu ditempatkan di tempat yang bersih dan bercahaya, diperlakukan dengan baik, banyak penderita yang dulunya dianggap tidak dapat disembuhkan memperlihatkan kemajuan yang pesat sehingga akhirnya diperbolehkan untuk meninggalkan rumah sakit jiwa.
Pada awal abad ke – 20, dicapai kemajuan besar dalam bidang obat – obatan dan psikologi. Pada tahun 1905 gangguan fisik yang dikenal sebagai general paresistimbulnya gejala gangguan tersebut. General paresis ditandai dengan adanya penurunan fungsi mental dan fisik seseorang secara lambat, perubahan kepribadian, serta adanya delusi dan halusinasi. Tanpa pengobatan para penderita penyakit ini akan meninggal dalam beberapa tahun. Pada masa itu, general paresis merupakan lebih dari 10% penyebab timbulnya penyakit jiwa, namun pada saat ini hanya sedikit kasus yang dilaporkan berkat efektivitas penisilin sebagai obat untuk menyembuhkan sifilis.
Penemuan general paresis tersebut meyakinkan para ahli bahwa penyakit jiwa berpangkal pada gangguan biologis. Sementara itu pada saat yang hampir bersamaann dua orang ahli yang berbeda juga telah meletakkan dasar pijakan yang penting. Sigmund Freud dan para pengikutnya meletakkan dasar pemahaman penyakit jwia sebagai gangguan yang berkaitan dengan faktor psikologis, sementara Ivan Pavlov telah berhasil menunjukkan bahwa binatang dapat terganggu secara emosional bila dipaksa mengambil keputusan di luar kemampuan mereka.
Kemajuan – kemajuan pengetahuan di atas agaknya tidak mempengaruhi pandangan masyarakat, bahwa umah sakit jiwa itu adalah sesuatu yang horor dimana para penghuninya dihinggapi rasa takut. Adalah Clifford Beers, mantan penderita gangguan manik depresif sehingga pernah dirumahsakitkan selama 3 tahun. Selama perawatannya di rumah sakit jiwa, Beers memang tidak lagi mendapat perlakuan dirantai dan disiksa, akan tetapi karena penderitaannya ia pernah memakai baju pengikat (straitjacket) untuk mengendalikan pemberontakannya. Kurangnya dana pada rumah sakit jiwa pada umumnya menyebabkan suatu rumah sakit jiwa menjadi penuh sesak dengan barak – barak, makanan dengan gizi renadh, serta para pembesuk yang tidak simpatik; kesemuanya itu menyebabkan rumah sakit menjadi sesuatu tempat yang jauh dari menyenangkan.
Setelah sembuh, Beers menuliskan semua pengalamannya di rumah sakit jwia tersebut dalam buku yang terkenal pada waktu itu A Mind That Found Itself (1908).Beers tiada henti – hentinya bekerja untuk mendidik masyarakat tentang penyakit jiwa serta membantu mengorganisasi Komite Nasional untuk kesehatan jiwa. Pada tahun 1950, organisasi ini lalu bergabung dengan dua kelompok lain untuk membentuk Asosiasi Nasional Kesehatan Jiwa. Gerakan ini ternyata berpengaruh besar pada pencegahan dan pengobatan gangguan jiwa.
  1. Pendekatan Kesehatan Mental
  2. Orientasi Klasik
Sepeti yang dilakukan oleh Pavlov pada percobaan ia dapat menyimpulkan tentang keluhan subjek dari respon yang diterimanya. Begitu juga dengan kesehatan mental, berbicara orientasi klasik biasanya digunakan dalam kedokteran untuk menyatakan pasien dengan keluhannya. Dalam psikologi pengertian sehat seperti ini banyak menimbulkan masalah ketika kita berurusan dengan orang – orang yang mengalami gangguan jiwa yang gejalanya adalah kehilangan kontak dengan realitas. Orang – orang seperti tu tidak ada keluhan dengan dirinya meski hilang kesdaran dan tak mampu mengurus dirinya sendiri secara layak. Pengertian sehat mental dari orientasi klasik urang memadai untuk digunakan dalam konteks psikologi. Mengatasi kekurangan itu dikembangkan pengertian baru dari kata “sehat”. Sehat atau tidak adanya sseorang secara mental, belakangan ini lebih ditentukan oleh kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Orang yang memiliki kemampuan menyesuaiakan diri dengan lingkungan dapat digolongkan sehat mental. Sebaliknya yang tidak dapat menyesuaikan diri digolongkan sebagai tidak sehat mental.
  1. Orientasi Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri bermakna penting bagi seseorang untuk beradaptasi terhadap keadaan yang ia lakukan. Penyesuaian diri juga sebagai suatu proses yang melibatkan respon-respon mental dan perbuatan individu dalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan mengatasi ketegangan, frustrasi dan konflik dengan memperhatikan norma yang ada (Schneiders, 1964). Ada beberapa klasifikasi penyesuaian diri diantaranya: (1) gejala masalah, meliputi : neurotik psikotik, psikopatik. (2) Jenis kualitas respon, meliputi : penyesuaian yang normal & penyesuaian yang menyimpang. (3) Jenis masalah, meliputi : personal, sosial, keluarga, akademik, vokasional, marital.

Kesehatan mental merupakan kunci dari penyesuaian diri yang sehat. Kesehatan mental merupakan bagian integral dari proses penyesuaian diri secara keseluruhan. Kualitas mental yang sehat merupakan dasar yang penting bagi “good adjustment”. Sedangkan Penyesuaian diri yang menyimpang (maladjustment)Proses pemenuhan kebutuhan atau upaya pemecahan masalah dengan cara-cara yang tidak wajar atau bertentangan dengan norma yang ada
  1. Orientasi Pengembangan Potensi
Kita sangat mengetahui orang yang produktif dalam kesehari – hariannya ialah ia yang mampu membawa dan menjadikan dirinya sesuatu yang bisa dimanfaatkan. Disni yang diakatan sebagai orang yang mencapai taraf kesehatan jiwa bila ia mampu untuk mendapatkan kesempatan dalam mengembangkan potensi diri yang dimilikinya. Dengan demikian ia dikatakan mampu untuk menggali potensi diri yang dimilikinya.

Jadi, dapat kita simpulkan bahwa kesehatan mental itu merupakan suatu keadaan dimana orang yang tidak dalam keadaan gila atau normal. Ia mampu menjalankan sesuatu hal yang akan ia lakukan dalam kehidupannya sehari – hari. Selain itu orang yang dikatakan sehat mentalnya tidak terlepas dari beberapa peran dimensi konsep sehat karena bagaimanapun dimensi itu tidak akan bisa diakatakan sempurna apabila setiap individu itu belum mampu untuk menjalankannya. Maka dari itu dimensi itu yang akan menjadikan seseorang sehat akan mentalnya.

Demikian beberapa pembahasan mengenai kesehatan mental dalamm ilmu psikologi. Semoga bermanfaat.

Referensi : – Prabowo, Hendro. (1996). Psikologi Umum. Jakarta: Universitas Gundarma